Kubuka mataku sejenak
Gurat di keningnya mendalam, meninggalkan jejak
Disapunya wajahku, dingin telapak tangannya
saat ini pukul satu malam lewat dua puluh tiga
Kulihat alisnya bertaut, dirasanya panas
segera dia bergegas
kacaunya yang kurasa dingin
gigiku gemeretak,
untung jantungku masih berdetak
ada nyeri di dada, dari malam tadi
ada perih di kaki, sisa pagi ini
ada pusing di kepala, untuk esok hari
kubagi rata, kuceritakan semua, kupastikan tak satupun tersisa
ternyata semua dengan gembira datang bersama
untung itu terjadi di selasa
Tenggorokanku kering, tercekat tiap lima menit
kugenggam segelas air, terangkat buihnya sedikit
kemudian kembali berbaring, menatap langit-langit
Dia masih di sini, menemani
acap kali terlihat terobati, padahal sakit aku yang lewati
kadang terlihat meratap, padahal sedih aku yang alami
sedikit bosan, geraknya tetap lincah
namun langkahnya sungguh gelisah
diagihkannya makanan, kulahap dua-dua
diberikannya aku obat, kuminum tiga-tiga
perawat membawa jarum, kuhitung sampai lima
sakitnya ternyata tak seberapa
Mataku semakin buram
kadang gelap, kadang benderang, belakangan temaram
saup kudengar dia berbisik
kemudian terdengar yang lain menyobek kertas secarik
mungkin yang lain bersiap pergi, padahal aku masih di sini
bahkan aku dimanapun tak ada yang peduli
mungkin kecuali dia, dan dia, dan tiga sisanya
tiap hari menunggu kabar menanti sisaku tiba
bersabar, katanya, obat paling manjur
berdoa, sebutnya, agar tidak melantur
berjanji, kurasa, kepastian untuk pelipur
letih denting jam dihitungnya berulang kali
andai-andai semua berjalan dengan pasti
Tapi kali ini tidurku mungkin lama
baringku pun mungkin kaku, wajahku tak lagi sama
apalagi mulutku, tak lagi bersuara
tapi senyumku mungkin masih serupa
lihat saja dalam mimpimu kala kita berjumpa
Comments
Post a Comment