Yang Terlihat di Televisi


Pertanyaan dosen baru-baru ini cukup memantik semangat berdiskusi, apakah selama ini debat yang terjadi di televisi dan media lainnya hanya omong kosong belaka? Semua orang juga termasuk korban debat politisi, yang "seringkali" terlihat tidak berujung dan tidak menemukan titik sepakat. Taktik yang diambil politisi memang tidak ada yang tahu, sulit ditebak. Sebaliknya, intensinya mudah diduga. Wajar saja, politik terkesan elitis bagi masyarakat awam, walaupun seharusnya justru menjadi alat praktis bagi masyarakat dalam mengemukakan pendapat. Namun, selama ini figur yang tampil mewakili politisi berhasil membangun citra sebagai intelek dengan latar belakang pendidikan yang bagus nan cemerlang, sehingga gagasan yang dilontarkan dinilai benar tanpa ada peninjauan lebih lanjut. Namun, yang menjadi permasalahan selama ini adalah, perdebatan yang disuguhkan media massa, terutama televisi, seringkali memperdebatkan fakta. Tidak ada yang salah dengan memperdebatkan fakta. Namun, alih-alih menemukan kesimpulan, fakta justru dapat dibantah, didukung, diperkuat, dilemahkan oleh fakta lain. Sambung menyambung parade fakta hanya berujung pada debat kusir, tidak ada penyelesaian, tidak ada kata akhir, apalagi kesimpulan. Semua sibuk berkutat pada substansi, berkoar-koar mengenai data mentah siapa yang lebih akurat, tepat, dan aktual. Masyarakat sudah tentu lebih menyukai parade fakta dan debat meriah yang disuguhkan politisi. Kalau tidak ada permintaan, maka tidak ada penawaran. Sudah pasti rating debat kusir ini tinggi, program tv nya saja tayang pada prime time, ratingnya pasti tinggi. Lantas, apa yang seharusya diperdebatkan? Apa yang seharusnya menjadi landasan diskusi?

Teori. Terdengar membosankan memang. Namun justru teori yang dapat menjadi kerangka analisis dalam mengolah data-data yang selama ini diperdebatkan. Teori menjadi perspektif langkah apa yang seharunsya diambil mengenai fenomena yang terjadi. Hal ini juga menjadi jawaban bahwa fakta tentu masih menempati tempat yang penting dalam berjalannya diskusi. Namun, alih-alih menjadi fokus utama, fakta justru menjadi variabel etap yang seharunsya tidak perlu diperdebatkan. Fakta hadir sebagai realita, kenyataan. Fakta-fakta lain, pada akhirnya menjadi variabel-variabel yang nantinya juga akan dianalisis. Bagaimana variabel itu ditemukan, kondisi apa yang mendukung variabel tersebut, semua dianalis dengan teori. Maka perdebatan baru dimulai ketika para politisi memperdebatkan teori apa yang akan dipakai berdasarkan temuan di lapangan, dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang telah disebutkan, seperti kondisi lingkungan, faktor sosial, dan aspek lainnya yang dirasa perlu. Karena, hanya teori tertentu yang bisa diterapkan dalam kondisi tertentu. Perdebatan yang selama ini kita saksikan, dimulai terlalu awal. Jika perdebatan masih berkutat pada adu fakta, tentu fakta yang dikemukakan pihak oposisi akan terdengar salah oleh pendukung pihak koalisi, begitu pula sebaliknya, terlepas dari kebenaran fakta tersebut. Adu fakta, tidak memerlukan pendidikan yang tinggi, apalagi harus menjadi politisi. Fakta saat ini sudah sangat mudah dicari, bahkan terlalu mudah sehingga hoaks bermunculan. Apa yang terjadi di penjuru dunia juga dalam hitungan detik sudah bisa diketahui melalui gawai pribadi. Yang menjadi permasalahan, fakta ini mau diapakan. Jika politisi selama ini dikenal dengan diksi mereka yang saintifik dan terkesan sangat ilmiah, sudah sewajarnya kita menguji nalar mereka dalam menentukan perspektif yang mereka punya dalam menganalisis fakta mereka. 

Namun, lagi-lagi semua dianggap sebagai strategi politik. Perdebatan dijadikan panggung meningkatkan elektabilitas, memperluas jangkauan, merendahkan pihak oposisi. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, namun sebagai penonton, kita juga perlu bertindak lebih bijaksana dalam menyikapi hal tersebut. Sudah seharusnya penonton menguji pemahaman politisi dalam menganalisis temuan fakta yang mereka kemukakan. Sudah semestinya masyarakat tidak melihat politik sebagai ring tinju para elitis

Comments