Surat Tanpa Nama

Tertulis surat untuknya, kasih tak sampai. Dekat di sudut pelupuk mata memandang, terasa jauh rindu mengumandang. Kepadanya tersurat sebujur hati, tiada berseri lagi. Mengais irisan memori terbaring kaku tanpa ada tujuan pasti. Telisik niat dalam sanubari nyatanya luka memanggil kembali. Tak disangka, siapa peduli hati ini hancur sekali lagi lantaran aku terlalu bodoh menyadari. Kepalang pergi cinta tak akan pulang kembali, kepalang pergi rasa tiada mau datang menemui. Siapa kira aku buta arah, tak tahu malu tapi tiada jemu. Remuk tulangku satu-satu. Hilang ragaku lantaran rindu.

Tertulis surat untuknya, beriring tawa. Terima kasih menjadi pengingat dan penyemangat. Banyak yang datang menemani, rautmu selalu menghampiri. Apa yang tersembunyi di balik kata yang dituturkan, pandang yang dilayangkan, emosi yang diutarakan, tak mampu menyatakan arti tak terungkapkan. Lebih-lebih bayangmu, yang tertanam jelas di mimpiku. Lebih-lebih senyummu. Lebih-lebih tawamu, buatku ragu. Lukaku, menggebu-gebu.

Kepadanya tertuju surat, tanda maafku yang tak urung berkabar. Semenjak kita tiada lagi bersua, kau kerap tawarkan tempat bersandar. Kini kuanggap kau dapat yang lebih layak. Nyatanya tulus kasih tanpa perlu pamrih, hadirmu penuh janji berarti. Kini, terkubur doa dan pinta sudah manis kurasa. Berlabuh kasih tanpa ada bukti, kepalang malu menagih janji, kepalang malu berhutang budi. Tandaku yang kepalang malu pada diriku, tiada berani berkata mau. Sesal di dada semakin kurasa, sesak di dada susah kurasa.

Kepadaku tertinggal sesal. Harap-harap akan celah kesempatan tersisa. Terserah apa kiranya jawabmu nanti. Mungkin lelah kurasa berpura-pura, meminta belas kasih berharap kau memberi. Kepadanya kuberi salam, sekali lagi meminta belas kasih beraharap ia memberi. Berharap ia kembali.

Comments