Kamar Kosan yang Berantakan (Lagi)
Bukan pertama kalinya kamar kosan terlihat berantakan. Cucian menumpuk. Tugas deadline pol. Namun semuanya sebenarnya hal biasa yang intinya pengen bilang sibuk tapi manajemen waktu acakadul. Penulis inginnya bijak bestari menyikapi hidup yang muram ini, tetapi apa daya selalu ada kambing hitam untuk disalahkan. Inginnya mengambil iktibar dari rentetan keapesan tapi sudah kuduga berakhir sama saja. Berawal dari UTS, semua rencana berubah...
UTS sebenarnya dilaksanakan dalam dua minggu. Kebanyakan kelas dilaksanakan di minggu kedua. Awal mula rangakian kejadian, tragedi dan peristiwa ini dimulai dari UTS senin dan tumpukan tugas review dan reading report. Mata kuliah yang diuji pada hari tersebut pun menjadi salah satu ancaman di semester ini. Mata kuliah yang seharusnya mudah karena sudah dijadikan pengantar wajib fakultas pada tahun sebelumnya, menjadi semakin sulit dipahami. Belum lagi paper atau makalah mata kuliah ini penulis nilai sangat sulit karena diharuskan memenuhi banyak kriteria oleh dosen tercinta. Selalu menyalahkan, seperti biasa. Kembali ke tragedi UTS, bagian reading report atau RR-nya sebenarnya tidak sulit. Reviewnya ini, yang bahkan sampai sekarang penulis sendiri baru mengerti saat teman lain mempresentasikan review mereka. Jadi, sewaktu penulis membaca materi dan bahan baca? Ya, begitulah. Sudah tertebak kalau kapasitas otak memang tidak membohongi. Semoga ke depannya penulis semakin dimudahkan Allaah memahami bahan tulisan.
Kemudian berlanjut ke minggu selanjutnya. Ujian yang semester empat kemarin terasa sabi karena persiapan sedikit lumayan (walaupun nilainya kalau dibandingin teman lain biasa saja) sekarang terasa kurang. Entah kenapa, setiap semester yang seharusnya lebih mudah karena seharusnya sudah terbiasa, malah terasa semakin sulit dan memerlukan effort yang lebih. Walaupun, pada akhirnya tetap berlalu dan dikerjain semua, tapi pusingnya berkepanjangan. Saking pusingnya, salah satu UTS matkul bahkan membuat penulis menangis. Matkul itu pula yang memaksa penulis menulis paper yang penulis sendiri tidak mengerti tentang apa, padahal bahannya sudah ditanyakan ke para ahli (re: teman yang lebih mumpuni dalam akademis).Ya, kapasitas otak memang tidak bisa disalahkan, kurang persiapan yang bisa. Tapi, setelah penulis pikirkan dan renungkan, sepertinya penulis salah mengambil kelas. Lagi-lagi mencari kambing hitam, satu hal yang penulis sangat mahir.
Tugas akademik tidak lengkap rasanya tanpa kehadiran tugas-tugas sekunder hingga tersier lainnya. Mulai dari tugas organisasi, beasiswa, hingga keputusan penulis yang mengikuti perlombaan dan seleksi relawan tingkat universitas juga menambah kebahagiaan penulis. Sedikit banyak, tugas-tugas ini di sisi lain sebenarnya membantu penulis melupakan sejenak tuntutan akademis. Di sisi lain, penulis juga sadar sebenarnya tanpa tugas ini pun penulis belum tentu bisa menyelesaikan tugas akademis, apalagi dengan tugas-tugas ini. Hingga saat penulis mengetik kalimat ini, deadlines masih berserakan di sana-sini. Penulis berharap dengan hadirnya tulisan ini, kiranya penulis dapat mendefinisikan ulang bahwa semua penyebab rentetan tragedi belakangan tidak lain dan tidak bukan dikarenakan kemageran penulis. Walaupun tetap saja, banyak faktor lain yang penulis tidak bisa sebutkan karena penulis takut akan kembali mencari-cari alasan.
Comments
Post a Comment