Toxic Masculinity dan Sisi Sensitif Laki-laki

Image result for toxic masculinity



Laki-laki dalam kodrat yang ditentukan manusia punya banyak pantangan. Laki-laki tidak boleh terlihat rapuh, harus tegas, tidak boleh menangis, dianggap kurang maskulin ketika menunjukkan afeksi, harus canggung ketika mengutarakan perasaan, harus jadi yang pemberani, harus jadi yang pertama, harus menyelamatkan dunia dan berbagai tuntutan lainnya. Laki-laki sedari kecil dididik untuk menggantikan sosok ayah yang dalam hidupnya selalu terlihat gagah, tegas, dan pantang mengeluh. Laki-laki selalu diproyeksikan menjadi pohon untuk berteduh di kala hujan dan benteng ketika kesedihan datang menyerang. Di sisi lain, perempuan dididik untuk mengganti sosok ibu yang selalu memberikan kasih sayang tanpa pamrih dengan memberikan kehangatan melalui pelukan, mengisi memori sang anak dengan senyumnya serta mengantar anak tidur dengan nyanyian merdunya.

Pembagian peran ini berdampak pada sekat yang semakin tebal sehingga pada masyarakat peran keduanya enggan saling mengisi satu sama lain. Kemudian apa hubungan hal ini dengan toxic masculinity? Toxic masculinity memiliki tujuan untuk membatasi emosi laki-laki dan memiliki ekspektasi sosial mengenai peran laki-laki dalam keseharian. Laki-laki dianggap memiliki strata yang lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga tidak boleh terlihat rapuh. Singkatnya, laki-laki tidak boleh menunjukkan sisi "sensitif" mereka. Tanpa disadari, kalimat-kalimat seperti "Laki-laki jangan menangis!",  "Laki-laki masa main masak-masakan?"  atau "Laki-laki harusnya main keluar sama teman!" sebenarnya secara langsung membatasi gerak laki-laki sebagai manusia. Sama seperti "Perempuan harus bisa masak", "Perempuan cepat menikah, nanti gaada yang mau" dan banyak kalimat lain yang penulis sendiri tidak mungkin tahu karena penulis laki-laki. 

Permainan sejatinya merupakan latihan aktivitas sehari-hari. Masak-masakan, jadi baby sitter, bricks membangun rumah, mobil-mobilan, dan lain-lain. Permainan tidak seharusnya memiliki gender. Bahkan dari sisi positif, bermain masak-masakan atau merawat bayi akan menumbuhkan rasa ingin membantu anak jika anak nantinya punya adik, atau ketika anak pada akhirnya menjadi orangtua yang harus merawat anak. Laki-laki juga tentu boleh memasak, malah disarankan harus. Kan kalau nanti berkeluarga bisa membantu istri juga. Kalau tidak berkeluarga? Bisa mandiri dan menghemat pengeluaran karena dengan memasak kita tidak perlu membeli makanan siap saji. Memasak juga membuat kita lebih sehat karena kita tahu kandungan makanan kita. Laki-laki tentu bisa menangis jika ia kehilangan orang yang dicintai, menyesali sesuatu yang ia lakukan, kehilangan pekerjaan, sama seperti perempuan bisa menangis, karena keduanya manusia. Perempuan harus cepat menikah seharusnya juga berlaku dengan laki-laki karena jika alasannya umur, keduanya juga bertambah tua, atau keduanya sebenarnya tidak perlu dibatasi umur karena takdirnya sudah diatur tuhan. Alasan-alasan ini sebenarnya juga tidak perlu justifikasi karena kehadirannya sendiri tidak didasari atas alasan logis.

Dampak negatif dari hal ini membatasi laki-laki dalam berekspresi. Laki-laki juga berhak mengungkapkan perasaan mereka tanpa perlu terbebani tuntutan sosial. Laki-laki tidak perlu merasa canggung untuk berpelukan ketika bertemu dengan temannya jika toxic masculinity tidak menganggap hal ini sensitif. Laki-laki tidak perlu takut untuk menangis ketika membaca atau menonton sesuatu yang membuatnya terharu dan tersentuh. Terlepas dari fakta bahwa sebagian mungkin merasa nyaman dengan batasan tersebut, namun tidak sedikit yang merasa keberatan. Menetapkan standar perilaku pada masyarakat yang terbagi dan berbeda pandangan tentu tidak akan benar, apalagi mengatakan sesuatu salah terlepas dari fakta bahwa hal tersebut natural dan manusiawi. Dalam membantah narasi yang sudah mengakar ini, diperlukan lebih dari sekedar kontra-narasi namun juga kesadaran dan mulai melakukan apa yang selama ini dianggap tabu. Laki-laki mulai sekarang harus memasak, merawat dan mengganti popok, belanja keperluan sehari-hari, berpelukan, menangis, dan melakukan semua hal manusiawi lainnya. Karena, laki-laki, tanpa mereka sadari mengalami opresi serta penindasan dengan batasan yang mereka ciptakan.

Comments