Di Kamar mengharapkan liburan
Perdebatan terbesar dalam sejarah bumi menurutku: gunung atau pantai? Yang ditawarkan sama sekali berbeda, mulai dari masyarakat sekitar, udara, aroma dan pemandangan. Keduanya juga membutuhkan tenaga yang berbeda. Pantai, seterpencil apapun, pasti setidaknya bisa ditempuh dengan kaki. Gunung taruhannya bisa nyawa. Pantai, seburuk-buruknya cuaca selama tidak mendekat ke laut seharusnya aman. Gunung ketika cuaca buruk di mana-mana terasa tidak aman. Di jalan rawan longsor, di atas suhunya bisa jadi dingin banget, jadi serba salah. Tapi kenapa menyalahkan gunung terus ya? Padahal gunung udaranya segar, pantai seringkali berbau amis. Gunung biasanya lebih bersih dan lebih sedikit sampahnya dibandingkan dengan pantai (walaupun sekarang sepertinya sampah udah ke mana-mana). Gunung (kalau cuaca mendukung) adem, pantai panas banget. Makan p*pmie dan jenis mi instan lainnya lebih enak diseduh dan dimakan di gunung.
Filosofisnya, pantai memang terbuka dan aman bagi semua kelompok sedangkan gunung digambarkan lebih ekslusif dan hanya untuk kalangan tertentu. Pantai menjadi sesuatu yang pertama kali diinjak seseorang ketika tiba di suatu tempat (walaupun sekarang ada pesawat). Pantai menyambut siapapun yang pertama kali datang. Pantai, seganas apapun ombak, tidak pernah berkata tidak. Pantai juga ramah kepada berbagai makhluk baik dari daratan maupun lautan. Gunung digambarkan sombong karena tidak sembarang orang bisa bertegur sapa dengannya. Untuk mendaki gunung diperlukan pengalaman dan keahlian serta perlengkapan khusus. Gunung juga selalu dengan bangga menjadi benda yang melihat matahari terbit pertama kali. Saking tingginya, gunung kadang bahkan lebih tinggi dari lapisan awan. Ringkasnya, yang satu rendah hati yang lainnya gagah dan kokoh.
Seharusnya tulisan ditutup dengan preference dari penulis. Tapi, setelah dipikir-pikir bahkan setiap pantai kesannya juga berbeda. Berdasarkan pengalaman perpantaian, pantai di Aceh memang cenderung lebih bersih jika dibandingkan pantai lain, terutama pantai di Sumatera Utara. Pantai di Sumatera Barat, terutama di Painan dan di Pulau Angsa Dua lebih ramah turis karena fasilitas sudah banyak dibangun. Pantai di Jogja terlalu ramai. Jangankan Parangtritis, Gunung Kidul pun penuh sesak (mungkin karena pemilihan tanggal penulis yakni pada 31 Desember). Pantai di Jakarta... (Kepulauan Seribu aja kotor, kalaupun bersih, Pulau yang masih dekat Jakarta airnya beraroma aneh).
Penulis tidak bisa banyak berbagi. Ilmu pergunungan penulis yang masih cetek alias dangkal Karena penulis sebenarnya kebanyakan pergi ke dataran tinggi dibandingkan gunung. Jadi penulis mengganti dengan per-dataran tinggi-an. Intinya, semua sama aja karena dataran tinggi yang pengunjung kunjungi memang sangat mainstream dan sangat ramah turis. Dataran tinggi ala-ala puncak yang penuh hotel dan villa seperti Brastagi, Bandungan, Lembang (walaupun penulis pernah mendaki bukit di Lembang), atau gunung yang sebenarnya tidak didaki seperti Tangkuban Perahu.
Satu-satunya pengalaman dataran tinggi yang berkesan adalah ketika mengunjung rumah teman dekat orangtua di Kabupaten Lima Puluh Kota di Sumatera Barat. Penulis tinggal di rumah yang benar-benar dikelilingi sawah, pagi hari beli sarapan jalan turun ke bawah karena rumah di atas bukit, makan makanan khas sala lauak (salah lauk), mandi ke sungai dengan batu-batu yang besar, makan malam dengan keluarga besar di rumah keluarga yang mendapat giliran. Jadi, kesimpulannya, penulis lebih suka.... rebahan. Rebahan akan tetap enak di manapun penulis berada.
Hutan Pinus Magunan. Tidak terlalu gunung sebenarnya, tapi cukup mendaki bagi penulis yang tidak biasa. Pulang turun motor kepeleset. |
Gunung Sindoro (atau Sumbing). Diambil setelah gagal melihat sunrise. Berangkat dari Semarang pukul 3 subuh melawan kabut dan suhu yang sepertinya di bawah 10 derajat. |
Filosofisnya, pantai memang terbuka dan aman bagi semua kelompok sedangkan gunung digambarkan lebih ekslusif dan hanya untuk kalangan tertentu. Pantai menjadi sesuatu yang pertama kali diinjak seseorang ketika tiba di suatu tempat (walaupun sekarang ada pesawat). Pantai menyambut siapapun yang pertama kali datang. Pantai, seganas apapun ombak, tidak pernah berkata tidak. Pantai juga ramah kepada berbagai makhluk baik dari daratan maupun lautan. Gunung digambarkan sombong karena tidak sembarang orang bisa bertegur sapa dengannya. Untuk mendaki gunung diperlukan pengalaman dan keahlian serta perlengkapan khusus. Gunung juga selalu dengan bangga menjadi benda yang melihat matahari terbit pertama kali. Saking tingginya, gunung kadang bahkan lebih tinggi dari lapisan awan. Ringkasnya, yang satu rendah hati yang lainnya gagah dan kokoh.
Pantai di belakang cottage di Pulau Sabang, Aceh. Sangat tidak pantai-ish. Penulis sebenarnya punya foto pantai Lampuuk di Banda Aceh, cuma yang ini pemandangannya lebih bagus. |
Menangkap keromantisan sese-mas dan sese-mbak di Pantai Siung, Gunung Kidul. Foto dimbil sebelum naik ke bukit melihat sunset dan menunggu pergantian tahun 2016 ke 2017. |
Penulis tidak bisa banyak berbagi. Ilmu pergunungan penulis yang masih cetek alias dangkal Karena penulis sebenarnya kebanyakan pergi ke dataran tinggi dibandingkan gunung. Jadi penulis mengganti dengan per-dataran tinggi-an. Intinya, semua sama aja karena dataran tinggi yang pengunjung kunjungi memang sangat mainstream dan sangat ramah turis. Dataran tinggi ala-ala puncak yang penuh hotel dan villa seperti Brastagi, Bandungan, Lembang (walaupun penulis pernah mendaki bukit di Lembang), atau gunung yang sebenarnya tidak didaki seperti Tangkuban Perahu.
Satu-satunya pengalaman dataran tinggi yang berkesan adalah ketika mengunjung rumah teman dekat orangtua di Kabupaten Lima Puluh Kota di Sumatera Barat. Penulis tinggal di rumah yang benar-benar dikelilingi sawah, pagi hari beli sarapan jalan turun ke bawah karena rumah di atas bukit, makan makanan khas sala lauak (salah lauk), mandi ke sungai dengan batu-batu yang besar, makan malam dengan keluarga besar di rumah keluarga yang mendapat giliran. Jadi, kesimpulannya, penulis lebih suka.... rebahan. Rebahan akan tetap enak di manapun penulis berada.
Comments
Post a Comment