Di dalam Kelas DNDHI
Demonstrasi di Indonesia belakangan sedang menjadi trend baru di kalangan kawula muda. Isu-isu yang dibawa juga beragam dan dianggap bedampak pada keseharian mereka. Berbagai demonstrasi ini kemudian sempat menjadi headline dan pembahasan di media-media Indonesia. Generasi yang awalnya diidentifikasi sebagai generasi yang apolitis kemudian dianggap mampu berkonsolidasi secara nasional dan berhasil menyuarakan pendapat dan tuntutan mereka. Poster-poster populer yang sangat meme material dan terasa jujur juga dianggap menjadi salah satu ciri utama demonstrasi Gen-Z. Kalimat seperti: "Asline muager pol, tapi piye DPRe pekok", atau "DPR, entah apa yang merasukimu" menghiasi demo pada 24 September 2019 serta berseliweran di berbagai media sosial. Berbeda lagi dengan demonstrasi berdasarkan "pergerakan media sosial". Demonstrasi dan propaganda disebarkan melalui tagar seperti #ReformasiDikorupsi dan #MosiTidakPercaya. Tagar tersebut, selain memudahkan kawula muda untuk mengikuti perkembangan politik Indonesia, juga memudahkan mereka untuk terus mengawasi "aparat" yang bertindak semena-mena terhadap "teman" mereka.
Hadirnya akun-akun yang menyajikan infografis dengan desain menarik juga turut berdampak pada tingkat perhatian kelompok usia muda tentang politik, terutama Gen Z yang selama proses tumbuh dan berkembang sudah ditemani oleh teknologi. Hal ini jugalah yang menyebabkan Gen Z cenderung memiliki sikap FOMO atau "Fear of Missing Out". Sehingga, terlepas dari sikap mereka yang sebenarnya cenderung apolitis, mereka tetap mengikuti perkembangan yang sedang hangat. Pembahasan dibawa ke dalam bentuk yang lebih santai seperti memes dan berbagai narasi "nyeleneh" lainnya. Namun, hal yang juga dikritik dari demonstrasi kreatif Gen Z yang dinilai menjadi "sekuel" senior mereka yang sedang duduk di parlemen adalah konteks yang berbeda. Demonstrasi 1998 memiliki tujuan yang sama sehingga jauh lebih mudah menyatukan kepala tiap-tiap demonstran dan aliansi mereka. Berbeda dengan tuntutan demonstrasi 2019 yang dinilai lebih banyak karena banyak rancangan/revisi undang-undang yang diikutsertakan.
Selain itu, demonstrasi 1998 sudah sangat kritis dikarenakan kondisi ekonomi yang saat itu juga sangat sulit sehingga rakyat juga ada di pihak mahasiswa dan demonstran lainnya. Demonstrasi 2019 secara logis memprotes sesuatu yang hanya dipikirkan kelompok tertentu, yakni "kebebasan". Kenyataannya, beberapa golongan bahkan tidak tahu mengenai apa yang menjadi tuntutan saat demonstrasi. Golongan kecil kemungkinan besar tidak akan terlalu memikirkan kebebasan, karena memenuhi perutnya dan keluarganya saja sudah cukup menyita waktunya dari hari ke hari, sehingga yang mereka protes lebih ke keadilan dalam RUU Ketenagakerjaan. Namun, di sisi lain saya juga menganggap narasi ini mengkerdilkan kelompok rakyat kecil dan kelompok masyarakat lain yang ikut menyuarakan pendapat mereka. Karena, pada dasarnya justru mereka yang selama ini menjadi pihak yang paling tertindas dan seharusnya menjadi kelompok yang paling vokal dalam menyuarkan kebebasan. Perlu dilihat bahwa, bahkan di tengah kemajuan zaman dan teknologi serta tingkat melek informasi Gen Z, masih banyak poster yang dianggap menyeleweng dan tidak sesuai dengan akar tuntutan demonstrasi kemarin. Hal inilah yang kemudian menjadi catatan bahwa, terlepas dari tingkat kreativitas dan tingkat pergerakan Gen Z yang luas, Gen Z masih kurang dalam pemahaman konteks dan usaha mencari informasi lebih. Begitupun, sewajarnya kebebasan menjadi hak fitrah semua manusia, tanpa terkecuali.
Demonstrasi di Depan Gedung MPR 16 September 2019 |
Hadirnya akun-akun yang menyajikan infografis dengan desain menarik juga turut berdampak pada tingkat perhatian kelompok usia muda tentang politik, terutama Gen Z yang selama proses tumbuh dan berkembang sudah ditemani oleh teknologi. Hal ini jugalah yang menyebabkan Gen Z cenderung memiliki sikap FOMO atau "Fear of Missing Out". Sehingga, terlepas dari sikap mereka yang sebenarnya cenderung apolitis, mereka tetap mengikuti perkembangan yang sedang hangat. Pembahasan dibawa ke dalam bentuk yang lebih santai seperti memes dan berbagai narasi "nyeleneh" lainnya. Namun, hal yang juga dikritik dari demonstrasi kreatif Gen Z yang dinilai menjadi "sekuel" senior mereka yang sedang duduk di parlemen adalah konteks yang berbeda. Demonstrasi 1998 memiliki tujuan yang sama sehingga jauh lebih mudah menyatukan kepala tiap-tiap demonstran dan aliansi mereka. Berbeda dengan tuntutan demonstrasi 2019 yang dinilai lebih banyak karena banyak rancangan/revisi undang-undang yang diikutsertakan.
Demonstrasi 24 September 2019 di Depan GBK |
Selain itu, demonstrasi 1998 sudah sangat kritis dikarenakan kondisi ekonomi yang saat itu juga sangat sulit sehingga rakyat juga ada di pihak mahasiswa dan demonstran lainnya. Demonstrasi 2019 secara logis memprotes sesuatu yang hanya dipikirkan kelompok tertentu, yakni "kebebasan". Kenyataannya, beberapa golongan bahkan tidak tahu mengenai apa yang menjadi tuntutan saat demonstrasi. Golongan kecil kemungkinan besar tidak akan terlalu memikirkan kebebasan, karena memenuhi perutnya dan keluarganya saja sudah cukup menyita waktunya dari hari ke hari, sehingga yang mereka protes lebih ke keadilan dalam RUU Ketenagakerjaan. Namun, di sisi lain saya juga menganggap narasi ini mengkerdilkan kelompok rakyat kecil dan kelompok masyarakat lain yang ikut menyuarakan pendapat mereka. Karena, pada dasarnya justru mereka yang selama ini menjadi pihak yang paling tertindas dan seharusnya menjadi kelompok yang paling vokal dalam menyuarkan kebebasan. Perlu dilihat bahwa, bahkan di tengah kemajuan zaman dan teknologi serta tingkat melek informasi Gen Z, masih banyak poster yang dianggap menyeleweng dan tidak sesuai dengan akar tuntutan demonstrasi kemarin. Hal inilah yang kemudian menjadi catatan bahwa, terlepas dari tingkat kreativitas dan tingkat pergerakan Gen Z yang luas, Gen Z masih kurang dalam pemahaman konteks dan usaha mencari informasi lebih. Begitupun, sewajarnya kebebasan menjadi hak fitrah semua manusia, tanpa terkecuali.
Comments
Post a Comment