Tertulis di dalam pikiran di kapal menuju Jakarta
Tentu hal inilah yang menjadi concern utama saya. Kemungkinan besar kebanyakan kegiatan serupa, hanya sekedar kegiatan. Pesan sebenarnya mungkin tidak sampai ke masing-masing peserta. Pada saat di dermaga, saya melihat seorang ibu memasang masker sekali pakai, yang sebenarnya saya rasa tidak terlalu diperlukan, mengingat udara lepas pantai Jakarta pasti lebih baik dari udara Jakarta. Ada juga peserta yang saya pergoki membawa tisu kertas. Lagi, ada juga seorang bapak yang merokok di dermaga, walaupun kegiatan sudah selesai. Hal ini bagi saya mengindikasikan bahwa pesan untuk cinta lingkungan dari tindakan terkecil, walau hanya untuk sementara waktu, masih sulit dilakukan.
Sabtu lalu tepatnya tanggal 21 September 2019, saya mengikuti kegiatan volunteer yang sudah jauh hari saya daftar di Pulau Padar, Kepulauan Seribu. Kegiatan ini bertepatan dengan World Clean Up Day dan peringatan hubungan diplomatik Belgia dan Indonesia yang ke 70. Awal tiba saya dari Depok menuju dermaga yang berada di Ancol Timur terasa melelahkan. Selain harus berangkat ekstra pagi, perjalanan yang ditempuh juga sangat jauh. Perjalanan sedikit terasa menyenangkan mengingat untuk kedua kalinya saya berkesempatan kembali singgah ke salah satu pulau di Kepulauan Seribu.
Sesampainya di dermaga, saya sudah melihat antrian. Para sukarelawan mengantri untuk mengisi daftar hadir dan mengambil snack serta souvenir. Souvenirnya ada tas dan topi, serta beberapa handbook berisi info mengenai Belgia. Selanjutnya, saya duduk sebentar memandangi penduduk setempat berenang di dermaga dan kapal-kapal besar yang berlabuh di pelabuhan. Sekelompok remaja terlihat berlari karena belakangan saya baru tahu ternyata dermaga tersebut berdekatan dengan gedung olahraga dan asrama olahraga air. Kemungkinan mereka beberapa atlet yang sedang lari pagi.
Sembari menunggu boat datang, kebanyakan sukarelawan sibuk mengabadikan momen. Ada juga yang bolak-balik mempersiapkan perlindungan dengan mengoleskan tabir surya serta memasang topi dan kacamata hitam agar terlindung dari sinar matahari. Saya sendiri bahkan hingga balik dan sampai kosan lupa mengoleskan tabir surya, padahal sudah dibawa. Tanning ceritanya. Perjalanan ditempuh selama lebih kurang satu setengah jam. Perjalanan terasa cukup lama karena kapal atau boat yang digunakan lambat dan "goyang-goyang". Cukup untuk membuatku mual dua puluh menit terakhir.
Sesampainya di Pulau Padar kami kemudian turun dan mengikuti instruksi. Acara dimulai dengan kata sambutan pihak panitia, organisasi lingkungan yang mendukung acara, pihak Kedutaan Belgia dan perwakilan Kementrian Luar Negeri. Kemudian acara dilanjutkan dengan penjelasan mengenai jenis sampah, pemisahan sampah, teknik pengumpulan dan pembagian pos jaga. Saya sendiri kedapatan di pos akhir sebagai pembungkus, pengikat, dan pemberitahu sukarelawan lain mengenai pos pengumpulan sampah. Awalnya saya kira dengan berdiam di satu tempat tanpa perlu berkeliling pantai akan lebih mudah. Pada akhirnya, kami kewalahan.
Singkat cerita, acara berjalan lancar, sih. Kok sih? Karena, seperti yang saya jelaskan saya di akhir acara "kewalahan". Waktu yang disediakan untuk mengumpulkan sampah sebenarnya dua jam. Namun, satu jam terakhir-bahkan hanya setengah jam berjalan- sukarelawan yang mengumpulkan sampah sebenarnya semakin sedikit. Wajah-wajah yang kulihat mengumpulkan sampah itu lagi, lagi-lagi itu. Padahal posisiku sendiri berada di pos yang paling banyak, pos soft dan hard plastic. Mungkin yang lain pada "nitip", jadi tidak bertemu saya di pos. Padahal berdasarkan undangan, jika semua peserta hadir setidaknya ada 125 sukarelawan yang ikut serta.
Selama pengumpulan sampah, saya berteman dengan beberapa pihak organisasi yang sama dengan saya, sibuk memilah, menimbang, mengikat sampah yang diantar. Senang rasanya melihat wajah baru, walau tidak sempat berkenalan. Beberapa teman sukarelawan juga selalu ada di samping saya, walau di akhir mereka juga sama seperti sukarelawan yang lain, sibuk berfoto dengan "sampah" dan akhirnya berkeliling pantai. Hingga menit-menit terakhir pengumpulan sampah, hanya tersisa tiga sukarelawan, saya dan dua perempuan yang ternyata berteman. Keduanya sibuk membantu saya menimbang, mengikat karung dan menulis jenis sampah sebelum akhirnya kami "dipaksa" istirahat oleh pihak kepanitiaan.
Kondisi awal pantai Pulau Padar |
Tentu hal inilah yang menjadi concern utama saya. Kemungkinan besar kebanyakan kegiatan serupa, hanya sekedar kegiatan. Pesan sebenarnya mungkin tidak sampai ke masing-masing peserta. Pada saat di dermaga, saya melihat seorang ibu memasang masker sekali pakai, yang sebenarnya saya rasa tidak terlalu diperlukan, mengingat udara lepas pantai Jakarta pasti lebih baik dari udara Jakarta. Ada juga peserta yang saya pergoki membawa tisu kertas. Lagi, ada juga seorang bapak yang merokok di dermaga, walaupun kegiatan sudah selesai. Hal ini bagi saya mengindikasikan bahwa pesan untuk cinta lingkungan dari tindakan terkecil, walau hanya untuk sementara waktu, masih sulit dilakukan.
Saya juga berkesempatan menanyakan seorang pemancing yang setiap minggu selalu pergi ke Pulau Padar bernama Pak Mulyono. Pak Mulyono tinggal di Daan Mogot, namun setiap Jumat pergi ke Pulau Padar untuk memancing Cumi-cumi sebagai hobi. Menurut cerita Pak Mulyono, kegiatan seperti ini sebenarnya bukan kegiatan pertama di Pulau Padar. Pak Mulyono menjelaskan setidaknya perlu enam bulan untuk membersihkan seluruh sampah di Pulau Padar, sementara kami hanya membersihkan satu sisi pantai. Sebelumnya juga ada kegiatan penanaman terumbu karang, yang tidak ditindaklanjuti oleh pihak terkait. Lain waktu akan saya tulis keseluruhan percakapan saya dengan Pak Mulyono selama lebih kurang setengah jam (saya diam-diam merekam, tapi saya rasa Pak Mulyono tahu. He kept staring at my phone as I put it in front of my feet while I was sitting LOL).
Sebenarnya tidak ada yang salah dari kegiatan volunteer. Namun, kebanyakan kegiatan serupa masih kurang penanaman esensi dan pesan. Sehingga, alih-alih berkelanjutan, kegiatan yang terselenggara hanya menjadi ajang untuk having fun dan berswafoto ria. Kegiatan yang seharusnya menjadi langkah untuk mengobah pola hidup dan pola konsumsi, malah diabaikan bahkan saat acara berlangsung. Bukannya ingin menghakimi dan merasa paling suci, tapi alasan-alasan di atas seakan mendukung perasaan saya bahwa kegiatan sukarela masih kurang tertanam di ingatan peserta.
Comments
Post a Comment