Esensi Menulis

Menunggu Kereta Menuju Medan

Di tengah lalu lalang penumpang kereta, kuhirup udara kotaku untuk terakhir kali. Kemudian terpikir untuk mencoba menuliskan perasaanku malam ini. Lambaian terakhir kulayangkan kepada mamak, yang dalam remang malam pun masih kulihat matanya berkaca-kaca. Kemudian pelukan terakhir dan tos kikuk ayahku, serta senyum di wajahnya. Aneh. Tapi berkesan.

Sembari menunggu kereta, atau lebih tepatnya saat ini, kucoba menulis. Kemudian aku sadar kata-kata yang kuketik sama dan berulang-ulang. Tulisan ini seharusnya hanya satu paragraf. Mengapa bisa? Mungkin karena sebenarnya esensi dari kita, atau lebih tepatnya aku, menulis hanya sekedar untuk mengingat.
Stasiun, tempat bertemu dan berpisah

Momen yang kuanggap berharga, berkesan, atau momen kecil lainnya yang terkadang kuanggap remeh. Mungkin dengan menuliskan hal ini rasa cemasku akan takut melupakan momen ini hilang. Besok aku tetap ingat mata mamak atau peluk ayah. Mungkin lusa, mungkin minggu depan.

Kemudian terpikir lagi, apa relevansinya? Untuk pembaca? Mungkin tidak ada. Tapi hal-hal kecil yang kita anggap biasa, terkadang bisa jadi hal-hal yang membekas di ingatan kita. Bukan karena mereka spesial, tapi karena kita terbiasa. Jika sudah tidak ada, pasti kehilangan. Jadi relevansinya? Don't forget to count every moment as a blessing, for only God knows when your last will be. Artinya dalam bahasa sehari-hari ranto: Jangan suka cemberut, gak tau kau kapan kau mati. Kurang lebih.

Comments