Artikel ini merupakan submisi dalam proses seleksi Kajian Kewargaan yang dilaksanakan oleh Lokataru Foundation dan Social Justice Indonesia; di mana penulis berhasil menjadi salah satu peserta kajian.
Kota semakin tahun semakin padat. Padatnya kota dipenuhi oleh berbagai kalangan dan kelas masyarakat. Tidak dipungkiri kota menjanjikan penghidupan yang layak dengan lapangan pekerjaan yang banyak dan upah yang lebih tinggi dibanding pedesaan. Masyarakat yang juga pada mulanya menuntut ilmu ke kota juga pada akhirnya akan menetap di kota melanjutkan mencari pekerjaan. Hal ini tentu menyebabkan permasalahan menahun perkotaan dalam mengatasi tingkat urbanisasi yang tinggi. Namun, melonjaknya penduduk perkotaan juga memunculkan permasalahan baru, terutama terkait inklusivitas akan kelompok mana saja yang dapat hidup dan tinggal di kota.
Realitanya, tidak semua masyarakat mampu—secara finansial—hidup di perkotaan. Tentu permasalahan pelik ini nyata adanya bagi kelas pekerja atau buruh, dan masyarakat miskin kota. Para buruh yang sebagian datang dari pedesaan menyadari bahwa meskipun upah minimum di kota jauh lebih tinggi namun biaya hidup, terutama biaya akomodasi dan tempat tinggal juga semakin tahun semakin naik. Biaya hidup yang semakin meningkat juga dirasakan penduduk setempat. Tingkat urbanisasi yang tinggi, tanpa pengaturan dan intervensi dari sisi kebijakan, juga berdampak pada gentrifikasi—yang berarti biaya hidup juga semakin tidak terjangkau oleh masyarakat setempat. Masyarakat setempat yang kalah bersaing dari segi pendidikan juga tidak dapat bersaing dalam lapangan pekerjaan. Selain itu, buruh atau pekerja kerah biru sebenarnya juga mengalami hal yang sama, meskipun mungkin tidak separah buruh lepas atau rakyat miskin kota. Permasalahan utama datang dari biaya sewa kos-kosan yang tinggi dan belum lagi beberapa tidak layak huni karena ukurannya yang terlalu kecil. Biaya yang dihabiskan cukup besar jika dibandingkan dengan rasio penghasilan minimum perkotaan. Sebagai contoh jika kita mengambil rata-rata biaya sewa kost di Jakarta sebesar 1 juta saja, dengan upah minimum Jakarta hanya berkisar 5 juta, maka para pekerja setidaknya menghabiskan 20% penghasilan bulanan mereka hanya untuk membayar biaya sewa. Perbandingan kasar ini tentu tidak merefleksikan kondisi yang mungkin jauh lebih buruk di lapangan, terutama biaya tempat tinggal dan harga tanah yang kian hari kian meningkat.
Berdasarkan permasalahan ini, kondisi ideal perkotaan tentu menjamin seluruh warganya untuk mendapatkan hunian dan tempat tinggal yang baik dan terjangkau. Pengabaian kondisi ini, terutama bagi masyarakat miskin kota, tentu berdampak pada perencanaan kota yang semakin semrawut. Masyarakat kelompok miskin akan mencari alternatif lain yang dapat mereka jangkau—utamanya mendirikan bangunan ilegal tidak layak huni di lokasi-lokasi yang cukup membahayakan seperti bantaran sungai yang rawan ketika musim penghujan. Selain itu, kondisi tidak aman juga muncul dari instalasi listrik yang semrawut dan lokasi antar rumah yang saling berdekatan menyebabkan pemukiman ini sangat rentan jika terjadi kebakaran. Tentu miris melihat pengabaian kebutuhan dasar mereka terutama mengingat kelas pekerja atau buruh merupakan tonggak perekonomian perkotaan. Maka memastikan hak dasar mereka terhadap tempat tinggal juga berarti memastikan perekonomian perkotaan terus berjalan. Selain itu, hunian yang terdapat di tengah kota juga dapat memastikan efektivitas waktu bagi para pekerja dan tidak perlu menghabiskan waktu berjam-jam karena harus tinggal di pinggir kota agar mendapatkan hunian terjangkau. Pembangunan kota yang terpusat pada efektivitas kegiatan rakyat miskin kota dan para pekerja juga dapat diintegrasikan dengan pembangunan jalur-jalur kendaraan umum serta fasilitas publik lainnya seperti taman dan fasilitas olahraga.
Comments
Post a Comment