Selective Activism dan Arogansi Menghambat Perjuangan Tanpa Batas

Mungkin tulisan ini akan lebih ke opini, alih-alih tulisan ilmiah. Krisis kemanusiaan dan pelanggaran HAM terjadi setiap saat, fakta yang tidak dapat kita bantah. Pelanggaran HAM mulai dari bentuk paling sederhana seperti ujaran kebencian sebagai salah satu bentuk rasisme, hingga pembantaian dan genosida. Salah satu bentuk perlawanan non-kekerasan yang ditempuh aktivis dan masyarakat luas adalah aktivisme media sosial. Membagi/mengunggah informasi seputar apa yang terjadi, pihak yang terlibat dan fakta-fakta dasar lainnya tentu sangat membantu dalam memahami isu yang terjadi. Tulisan ini sebenarnya cukup sampai di sini, kalau kita memahami betul pentingnya mewakilkan suara pihak yang tertindas dan mengampanyekan dukungan terhadap pihak yang tertindas, dalam bentuk sekecil apapun. Namun, tentu tidak semua orang menyadari pentingnya menjadi pihak yang menyebarluaskan perjuangan pihak tertindas, apapun bentuknya.

    Kita merujuk dua kasus, Influencer, sebut saja G, dan figur publik di Indonesia, sebut saja D. G merasa tertekan karena dipaksa berpendapat dan menyuarakan dukungan terhadap perjuangan masyarakat Palestina karena kalimat yang diutarakan "melindungi al-aqsa", dan merasa jengah karena melihat kelakuan "haters" yang terlalu fanatik terhadap agama. Begitu juga D ketika diminta pendapat mengenai isu perjuangan masyarakat Palestina, D merasa tidak memiliki ilmu yang cukup mengenai "konflik" yang terjadi dan merasa tidak memiliki kapasitas dalam membicarakan hal tersebut. Keduanya, tentu, menerapkan selective activism jika melihat sejarah mereka yang kerap menyuarakan berbagai bentuk diskriminasi, ketidakadilan yang terjadi. D memiliki kanal podcast dan YouTube dan memiliki pengikut yang cukup banyak, sehingga mungkin ingin lebih berhati-hati dan tidak mau gegabah, G memiliki wadah di media sosial Instagram dan kanal YouTube merasa enggan mengadvokasi isu yang dianggap tidak mewakili pihak minoritas, karena lagi-lagi isu Palestina dianggap sebagai isu agama, mungkin. D sendiri tidak memiliki catatan aktivisme, G rutin mnegkampanyekan advokasi perjuangan kelompok marjinal, bahkan kampanye melawan Kyriarchi, bentuk yang lebih inklusif terhadap diskriminasi gender dibandingkan gerakan melawan Partriarki, bahkan ikut protes Black Lives Matter.



    
Bentuk aktivisme yang dilakukan G tentu tidak salah, namun akan salah jika perlawanan terhadap satu bentuk opresi dan keengganan menyuarakan perlawanan terhadap bentuk opresi lain. Opresi di satu tempat, sadar tidak sadar, terhubung dengan opresi di tempat lain. Brutalitas polisi yang melakukan subjugasi hingga tuntutan abolisi terhadap kelompok Afrika Amerika di Amerika Serikat, ternyata berhubungan dengan opresi dan kolonialisme yang terjadi di Palestina. Militerisasi polisi berdampak pada bentuk kekerasan terhadap kelompok minoritas gender saat mereka menuntut keadilan dan meyuarakan pendapat, seperti contoh Stonewall yang akan sering didengar pada pride month Juni ini. Protes keadilan terhadap tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan, eksploitasi buruh, genosida penduduk asli di Amerika Selatan, kekerasan anak, semua terhubung dalam sistem yang sama. Dalam melakukan aktivisme, kelompok yang tertindas idealnya tidak akan tebang pilih dalam mendukung kelompok tertindas lainnya, hal ini tentu menjelaskan mengapa bendera Kolombia berkibar saat protes Free Palestine, bendera Palestina berkibar saat protes Black Lives Matter, dan simbol-simbol Black Lives Matter berkibar bersamaan dengan bendera LGBTQ+ pada pride parade, atau berbagai dukungan yang sama dalam demonstrasi hak masyarakat asli (native americans) di Turtle Island (Amerika Utara). 

    Begitu pula dengan justifikasi D mengenai keengganannya membahas isu perjuangan Palestina, yang sebenarnya bisa dikatakan arogansi. Dalam mencari informasi mengenai isu yang selama ini digambarkan sebagai "konflik" di media arus utama, langkah utama yang perlu dilakukan adalah melihat apakah kedua pihak memiliki kekuatan yang sama dari aspek jumlah kerusakan, korban, dan aspek merugikan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, tentu akan terlihat kelompok yang tidak memiliki kekuatan, yang pasti menjadi kelompok yang tertindas. Setelah itu, usahakan untuk mengikuti media, organisasi, kanal-kanal yang secara konsisten menyuarakan suara kelompok tertindas sebelum isu akhirnya dibahas media arus utama. Konsistensi ini menandakan sumber kanal-kanal tersebut langsung berasal dari kelompok yang tertindas, atau bahkan dikelola oleh kelompok yang tertindas sebagai media alternatif untuk membahas isu yang dianggap sulit masuk ke dapur media arus utama. Bahkan, isu yang selama ini kita rasa kontemporer sebenarnya sudah dibahas selama berpuluh-puluh tahun. Isu seperti gender, dekolonialisasi, dan berbagai isu bentuk opresi lainnya. Pembelajaran dan sumber edukasi terkait isu tentu tidak terbatas pada mereka yang memiliki latar belakang ilmu politik, ilmu kajian gender, ilmu sejarah dan sebagainya. Selama kita memiliki koneksi langsung dengan jaringan yang ikut menyuarakan tuntutan kelompok yang tersubjugasi, tentu kita memiliki sumber valid dalam proses memahami tujuan dan tuntutan mereka. 

Salah satu platform yang sangat penulis rekomendasikan adalah Decolonize this Place yang dapat diikuti dalam berbagai media sosial, namun tidak terbatas pada gerakan tersebut. Isu-isu yang dianggap tidak memiliki pengaruh langsung terhadap kehidupan kalian, seperti Yaman, Kashmir, Palestina, krisis ekonomi di Lebanon, protes di Kolombia, Chile, BLM, atau krisis kemanusiaan dan krisis alam lainnya merupakan bentuk perjuangan kemanusiaan yang terhubung dan bersifat trans-nasional. Sistem yang menekan dan mengopresi mereka, bisa kapan saja diterapkan di tempat tinggal kita, atau negara kita masing-masing justru ikut mendukung status quo dan legitimasi pihak penindas sehingga krisis tersebut masih terus berlanjut.

Comments