Setelah sekian lama hiatus dalam dunia menulis, kejadian tadi sore membuatku memiliki bahan tulisan. Topik tulisan ini berkaitan dengan pengendalian emosi. Karena belakangan, rasa-rasanya emosiku semakin tidak terkendali, terutama dengan orang asing. Tentu aku tidak ingin mendiagnosis sendiri dan berkesimpulan bahwa aku memiliki tantrum issue atas beberapa hal yang hanya berkaitan dengan kontrol diri yang buruk. Namun, kalau dipikir-pikir yang seringkali membuat marah hanya hal-hal kecil yang sebenarnya bisa dibicarakan baik-baik. Setelah muncul sedikit rasa penasaran mengenai apa penyebabku marah, aku memutuskan untuk mencari sedikit bahan bacaan dan mencoba mencari penjelasan.
Pada dasarnya, masalah tantrum seringkali terjadi pada anak-anak. Bayi, terlepas dari kemampuan memberikan respon emosi terhadap stimulus yang ia terima, tidak mengerti bagaimana memahami dan memaknai emosi yang mereka rasakan.[1] Semakin dewasa, tentu rasa terhadap sekitar semakin baik. Individu dewasa mengetahui keberadaan aturan normatif yang mengatur masyarakatnya dalam melakukan interaksi sosial dengan sesamanya, seperti sopan santun, etika, dan tata cara yang pantas dalam pergaulan sehari-hari.[2] Menariknya lagi, dalam kajian ilmu psikologi, emosi marah tidak bisa dikategorikan sebagai hal positif ataupun hal negatif. Menurut Greenberg dan Watson, intensitas emosi-lah yang menentukan dampak dari emosi tersebut hingga dapat berbahaya.[3] Intensitas yang berlebihan, seperti sedih yang berlebihan, marah yang berlebihan, tentu berdampak pada tindakan ekstrim yang bisa membahayakan orang sekitar ataupun diri sendiri. Tindakan ini, di mata orang awam, merupakan tidakan yang buru-buru dan tanpa melalui proses berpikir yang panjang. Walaupun sebenarnya, terdapat proses yang dilalui sebelum individu memutuskan mengambil tindakan tersebut.
Kebanyakan kasus yang terjadi pada kita, sebenarnya dapat dibicarakan dengan baik-baik. Namun, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kita memilih untuk mengeluarkan emosi kita, yang tidak jarang dengan intensitas yang berlebihan. Dalam psikologi kognitif, dijelaskan bahwa emosi sangat tergantung pada apa yang kita pikirkan dan bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain saat emosi kita bangkit. Selain itu, emosi kita dipengaruhi oleh harapan kita dan persepsi kita terhadap orang lain. Belajar memainkan suatu peran penting juga memberikan implikasi yang besar dalam pengaturan emosi kita.[4] Namun, teori ini juga melihat terdapat bias faktor individu serta faktor fisiologis bawaan dan faktor pembelajaran. Kemudian, respon yang kita berikan dari interaksi yang terjadi adalah respon melawan atau menghindar, emosi yang muncul dari respon tersebut adalah marah atau justru takut. Nah, penemuan penting yang berkaitan dengan emosi orang dewasa adalah individu dewasa lebih sulit merasakan peristiwa yang menyedihkan dan frekuensi mengekspresikan emosinya lebih sedikit daripada individu yang lebih muda usianya, selain itu terungkap bahwa lansia masih mampu mengalami emosi positif yang mendalam.[5].
Secara sederhana, faktor emosi marah dapat dibagi menjadi dua, fisik dan psikis. Mulyono dalam tulisannya melihat bahwa Sebab-sebab yang mempengaruhi faktor fisik antara lain: 1) Kelelahan yang berlebihan. 2) Zat-zat ter- tentu yang dapat menyebabkan marah. Mis- alnya jika otak kurang mendapat zat asam, orang itu lebih mudah marah. 3) Hormon kelamin pun dapat mempengaruhi marah se- seorang. Sedangkan faktor psikis yang menimbulkan emosi marah erat kaitannya dengan kepribadian seseorang yang menyangkut konsep self-concept atau anggapan orang lain terhadap individu yang sebenarnya salah.[6] Beberapa self-concept dibagi menjadi: (1) rasa rendah diri (Minderwaardig-heid Complex), yaitu menilai dirinya sendiri lebih rendah dari yang sebenarnya; (2) sombong (Superiority Complex), yaitu menilai dirinya sendiri lebih dari kenyataan yang sebenarnya; dan (3) egoistis atau terlalu mementingkan diri sendiri, yaitu menilai dirinya sangat penting melebihi kenyataan. Inilah faktor kompleks individu yang mempengaruhi emosi individu.
Jadi, cukup jelas bahwa respon yang kita keluarkan tidak serta merta tanpa pertimbangan. Namun, bukan berarti hal tersebut menjustifikasi tindakan dan perkataan kita terhadap orang lain. Perlu diperhatikan juga, jika intensitas emosi kita sudah mencapai level yang berlebih, tidak ada salahnya mencoba mencari bantuan profesional. Karena, secara langsung kendali emosi juga dipengaruhi oleh kesehatan mental kita. Stress berlebih kemungkinan akan berakibat pada kendali emosi yang lebih buruk. Selain itu, dalam kehidupan sosial, tentu ada norma dan tata krama yang berlaku, terutama pada masyarakat Indonesia, yang mengharuskan kita untuk menghargai orang lain. Sehingga, walaupun intensitas marah yang kita ekspresikan tidak sampai mencederai atau melukai orang lain, bisa saja perkataan kita melukai perasaan orang tersebut. Di sisi lain, aku juga merasa sedikit bersalah dan gegabah setelah marah-marah. Mungkin perasaan bersalah yang muncul ini akan kita bahas dalam tulisan selanjutnya!
Referensi
[1] Kartika Sari Dewi, Buku Ajar Kesehatan Mental, Universitas Diponegoro, (Semarang: 2012).
[2] A. P. Kurniawan, & N. U Hasanat, "Ekspresi Emosi pada Tiga Tingkatan Perkembangan pada Suku Jawa Di Yogyakarta: Kajian Psikologi Emosi dan Kultur pada Masyarakat Jawa" Jurnal Psikologi Indonesia, Universitas Gadjah Mada, (Yogyakarta: 2010).
[3] L.S Greenberg, & J.C Watson, "Emotion Focuced Therapy for Depression", American Psychologikal Association, (Washington DC: 2006).
[4] Stanley Schachter, dan Jerome Singer. “Cognitive, Social, and Physiological Determinants of Emotional State”, Psychological Review, (1962).
[5] Laura L. Carstensen, and Susan Turk Charles. “Emotion in the Second Half of Life.” Current Directions in Psychological Science 7, no. 5 (1998).
[6] Yadi Purwanto dan Rachmat Mulyono, "Psikologi Marah Perspektif Psikologi Islami", Refika Aditama, (Bandung, 2006).
Comments
Post a Comment