The Perks of Being "Anak Guru"

Kamar Kosan (Lagi)

Sepanjang 13 tahun sekolah "dasar", cuma waktu TK yang menurutku meninggalkan kesan baik. SD jadi korban bully, SMP juga, SMA malah jadi tukang bully. Belum lagi SMP menjadi nobody (which I liked a lot) karena malas berusaha karena ada anak emas sort of things tapi anak emasnya juga sabi so, it wasn't really a problem. Tapi, selain itu, kepolosan waktu TK yang sebenarnya menjadikan hidup tenang karena semua serba bodo amatan. Tapi aku tidak mau membahas perundungan.

Hal yang dianggap menjadi sorotan masa muda salah satunya pasti SMA (bagi yang menempuh SMA). SMA, berbeda dengan yang lain terasa lebih berkesan. Hal lain tentang SMA adalah rasa malu anak baru gede yang takut ketahuan kalau kurang update, kurang beken, norak, atau image rusak di hadapan adik kelas. Beberapa hal memang jadi masalah utamaku waktu SMA. Tapi seringnya tidak kuambil pusing karena ada masalah yang lebih besar. Kedua orangtuaku bekerja sebagai guru di SMA tempatku sekolah.

Sebelum masuk SMA, sempat terpikir untuk tidak memilih SMA ini walaupun menjadi SMA yang terbaik di kotaku. Hal ini diawali ketika sewaktu ujian, guru yang mengawas menanyakan ke mana aku akan mendaftar. Ketika kujawab SMA ini, guruku nyeletuk "oh wajarlah, nanti pasti ranking 1. Kan ada ayah mamaknya". Kadang sampai heran serendah itu orang memandangku.

Itu terjadi bahkan sebelum aku masuk SMA tersebut. Setelah masuk, it's just getting worse. Terutama waktu pengumuman untuk semester pertama aku mendapat peringkat 1. Sebenarnya, dalam hati sudah bersiap karena kakakku juga mengalaminya. Hal ini kulihat dengan mataku sendiri ketika kakakku dan aku sama-sama maju ke depan. Temanku yang dari SD sendiri heran melihat nilai salah satu mata pelajaran yang diampu ibuku sendiri berkepala 9. Celetukannya terdengar mengesalkan dan seakan tidak percaya, terlepas dari fakta bahwa aku sendiri menjadi juara 1 olimpiade mata pelajaran tersebut selama dua tahun berturut-turut.

Begitu pula adikku. Di akhir kelas 3 teman-temannya membully sampai dia selalu murung dan tidak pergi les tambahan karena teman-teman yang membully les di tempat yang sama. Terlepas dari kami, atau kakak dan adikku yang kuanggap memang pintar dan berprestasi, selalu memperoleh sindiran dan pandangan rendah hanya karena menjadi anak guru dan ketepatan "memiliki kemampuan dan kemauan di atas rata-rata".

Tentu, tidak mungkin rasanya menyampaikan kalau kakakku dipuji dosen di salah satu mata kuliahnya, atau adikku yang nilainya dipenuhi huruf A. Pada satu waktu aku, dan mungkin kedua saudariku, sadar bahwa membuktikan bahwa kita memang pantas sama saja menyetujui bahwa kita pada saat tersebut tidak pantas ada di tempat tersebut. Membuktikan mereka bahkan dengan berbagai pencapaianku selama ada di SMA pun tidak akan cukup. Walau dasarnya hanya karena kami anak guru. Fakta kalau di antara kami bertiga aku yang paling bodoh secara akademis tentu semakin membuat geram.

I mean, people can be so mean but this thing that they were talking is also discrediting both of my parents. What they don't know about is all of us worked our butts off and wiped our tears to pursue our dreams but people still talking bad behind our backs. It has always been my pleasure to tell you that we're just three fine people with three fine brains that work better than yours. Someone must spill the truth and since both of my sisters won't do it I'm happily doing it right now. And those are the perks of being "anak guru".

P.S: But the real perks about being anak guru ya diajarin pelajaran sama buku-buku setumpuk yang bisa dibaca. Plus ayah mamakku memang suka membaca, jadi buku non-pelajaran juga ada dan bahkan dibelikan buku tambahan. So... I guess we're smart?


Comments